Selasa, 09 Februari 2010

KRISIS LINGKUNGAN

Bahwa lingkungan di Indonesia telah mengalami krisis merupakan satu fakta yang harus dipahami dan disadari. Dan bahwa krisis tersebut akan mengancam keberlanjutan Indonesia, merupakan satu premis yang penting untuk direnungkan dan direspon. Persoalannya adalah dimana akar sebabnya?

Sebagaimana kita ketahui, idiologi pembangunan yang materialistik selama ini telah mendorong proses-proses pembangunan yang luar biasa. Capaian pembangunan yang materialistik tersebut juga harus diakui membawa benyak manfaat bagi umat manusia dan peradaban. Pada saat yang sama, akan tetapi, capaian pembangunan tersebut harus diakui belum membawa kesejahteraan pada seluruh umat manusia. Bahkan cenderung terjadi gap yang cukup dalam dan lebar antara mereka yang over consumption dan mereka yang under consumption. Dalam perspektip ini, menjadi penting kemudian melihat kembali etika lingkungan yang mendasari proses-proses pembangunan tersebut.

Sebagaimana banyak dikaji dalam literur, terdapat dua kubu ekstrem etika lingkungan yang dapat dipertentangkan. Pandangan pertama biasa dikenal dengan pandangan anthropocentris, yang menekankan pada manusia sebagai subjek utama dunia dan harus mendapat prioritas dalam pemanfaatan lingkungan dan sumber daya. Dalam pandangan ini, proses-proses pembangunan dan implikasinya terhadap lingkungan dipandang sebagai satu keniscayaan, sejauh proses-proses pembangunan tersebut diperuntukkan bagi kesejahteraan manusia. Pandangan in mewarnai dan menjiwai proses-proses pembangunan yang eksploitatip selama ini, dan seringkali juga digunakan sebagai alat untuk menjustifikasi setiap keputusan pembangunan yang dilakukan manusia. Dalam banyak kasus, pandangan ini juga dipakai manusia untuk menjustifikasi motiv dan tindakan serakahnya, dan implikasinya tentunya adalah pengorbanan dan kerusakan lingkungan.

Pandangan kedua merupakan respon yang kritis terhadap pandangan pertama, berakar pada pandangan deep ecology. Pandangan deep ecology merupakan pandangan yang amat menekankan pada kepentingan dan kelestarian lingkungan alam. Pandangan ini dilandaskan pada etika lingkungan yang kritikal, dan mendudukkan lingkungan tidak saja sebagai objek moral, tetapi subjek moral, sehingga harus diperlakukan sederajat dengan manusia. Pandangan ini mengingkari pandangan yang melihat lingkungan sebagai objek moral dan mempunyai juga hak. Pengakuan terhadap lingkungan sebagai moral subyek mempunyai implikasi bahwa prinsip-prinsip justice juga harus diberlakukan dalam konteks hubungan antara manusia dan lingkungan sebagai sesama moral subyek. Termasuk disini isu tentang “animal rights”. Dalam padangan ini, proses-proses pembangunan harus sejak awal melihat implikasinya terhadap lingkungan, karena setiap proses pembangunan akan melibatkan perubahan dan pemanfaatan lingkungan dan sumber daya (yang diperlakukan sebagai subjek moral).

Ide-ide pembangunan berkelanjutan yang dikembangkan sejak awal tahun 1970an, sejatinya mencoba mempertemukan dua kutup pandangan tentang lingkungan sebagaimana dikemukakan di atas. Ide-ide pembangunan berkelanjutan berlandaskan pada konsep bahwa, kalaulah tidak setara, lingkungan dan manusia harus diperlakukan sebagai dua subjek yang saling terkait dan memerlukan. Proses-proses pembangunan, dengan demikian, dapat diorientasikan pada kepentingan manusia, akan tetapi tidak berarti pembenaran terhadap pengorbanan dan kerusakan lingkungan. Pembangunan berkelanjutan berprinsip bahwa proses-proses pembangunan dapat dilakukan dengan arif dan kehati-hatian, agar lingkungan itu sendiri tidak mengalami kerusakan dan dapat terus menjamin dan menopang kehidupan manusia. Lebih lanjut, pembangunan juga harus mempertimbangkan prinsip-prinsip keadilan sesama dan lintas generasi.

Pada hematnya, pembangunan berkelanjutan sesungguhnya merupakan wacana moral dan kultural. Hal ini disebabkan karena yang menjadi persoalan utama adalah pada bentuk dan arah peradaban seperti apa yang akan dikembangkan manusia di planet bumi ini. Pertanyaan in tentunya merupakan pertanyaan moral dan kebudayaan yang tidak mudah untuk dijawab, akan tetapi memerlukan pemikiran yang serius dan menerus. Apapun bentuk peradaban yang akan kita bangun, telah menjadi semakin jelas bahwa penduduk planet bumi yang sudah mencapai hampir 6 milyard ini tidak akan dapat semuanya hidup sebagaimana tingkat dan gaya hidup masyarakat di negara-negara maju yang materialistis. Oleh karenanya, diperlukan satu bentuk peradaban baru yang lebih baik, tidak boros dan materialistik, yang dapat ditopang oleh ketersediaan sumber daya yang ada di bumi ini. Disinilah diperlukan satu terobosan kebudayaan dan peradaban untuk menyelamatkan dan mengembangkan kehidupan manusia.

Persoalannya adalah bagaimana landasan etika ini dapat mewujud menjadi satu tindakan yang nyata untuk perubahan? Apakah pendekatan etika lingkungan dapat dapat membawa perubahan pada aras individu, kelompok individu, dan masyarakat secara luas? Adakah jaminan bahwa perubahan pemahaman dan kesadaran akan begitu saja mewujud menjadi satu tindakan dan gerakan bersama? Memang, etika penting dan mendasar, akan tetapi bagaimana etika dapat mendorong dan menjamin tindakan dan gerakan nyata adalah persoalan lain.

Tidak ada komentar: